Harapan Baru

Herni pergi. Karena tidak sanggup hidup miskin dengan suaminya Restu yang hanya menjajakan roti dengan sepeda tuanya setiap hari.

Suatu hari perempuan itu pergi dengan tangisan membasahi wajahnya. Hari itu Restu cidera kakinya. Laki-laki itu terjatuh berkali-kali sambil berusaha mengejar istrinya.

Dua hari berlalu tanpa ia sadari. Baru dia sadar apa yang telah terjadi, seolah mengalami hantaman pada jiwanya. Restu jatuh tersungkur, menangis. Ia tidak pergi bekerja hari itu.

Suatu hari terjadi ribut-ribut di gang sempit itu. Restu yang baru saja pulang kembali bangkit untuk bergabung dalam keramaian.

Sugro anak tetangga ditemukan pingsan di rumahnya yang ditinggalkan kosong. Ketika sadar dia bercerita bahwa Bapaknya yang suka memukulnya itu pergi ke luar kota semalam. Karena merengek berusaha mencegah supaya Bapaknya tak jadi pergi, dia justru kena damprat.

Ayah yang hebat itu melempar tubuh anak itu menghantam dinding dan sebuah foto pernikahan. Dan disanalah semuanya berawal, atau berakhir, ngomong-ngomong.

Restu mengusulkan agar anak itu tinggal bersamanya untuk sementara. Ya semua orang akhirnya jadi tahu tentang kepergian Herni, tapi apa boleh buat. Situasi yang ada sekarang lebih penting.

Ibu Sugro sudah lama tidak memberi kabar sejak pergi menjadi TKW di Arab Saudi. Jadi, praktis anak berumur 11 tahun itu tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.

Mina, gadis dari gang sebelah datang ke rumah Restu sambil membawa satu set rantang. Wajahnya terlihat cemas, dan sambil mengucap salam ia langsung duduk bersimpuh di samping anak itu dan menawari, sebenarnya agak memaksa, makan.

Seorang ibu tak lama menyusul masuk ke rumah. Restu tak bisa bilang apa-apa, hanya duduk memerhatikan kedua perempuan itu merawat Sugro yang menatap bingung ke segala arah.

Itu ketika Restu menandai sesuatu di belakang leher Sugro kecil. Dengan segera ia menarik leher kaosnya dan melihat segaris memar yang panjang dan menghitam.

“Luka-luka, ini badannya…” ujar Restu pelan, memberi petunjuk pada kedua perempuan lain.

Mina menaruh rantang dan sendoknya, berhenti menyuapi. Lalu menarik paksa kaos anak itu hingga terlepas dari badan kurusnya. Perempuan itu menggumamkan nama Tuhan dengan rasa kaget.

Dada, punggung, pinggang anak itu penuh luka memar hingga luka berdarah yang setengah kering.

“Kamu nggak pernah ngomong kalo diginiin sama Bapakmu??” ujar Mina setengah kesal. “Kan ada mpok, uwak, orang-orang sini semua…”

Mata Sugro lantas digenangi air mata. Ia menunduk, malu menunjukkan emosinya.

“Udah lah…” gumam Restu pada Mina. Tapi rasa malu tiba-tiba muncul ketika mata keduanya bertemu. Giliran Mina yang menundukkan kepalanya.

“Jadi si Ugo tinggal disini dulu ya, Restu?” ujar ibu yang sedari tadi duduk di samping Mina.

“Iya, Wak. Nggak apa-apa, biar saya yang rawat sampe kapanpun.” Terdengar seperti sumpah seumur hidup. Mengesankan bahwa Restu bersedia untuk mengasuh Sugro sebagai anaknya sendiri. Dan itu membuat orang yang mendengarnya tersentuh. Tak terkecuali Mina.

Seiring waktu, Mina sering berkunjung untuk memeriksa keadaan Sugro. Rumah dibiarkan Restu tidak dikunci supaya orang-orang bisa datang untuk mengawasi dan membantu Sugro.

“Apa nggak ribet lu ngebiarin rumah bebas dimasukin orang kayak gini? Sampe kapan?” kata Uwak Cici.

“Jadi?” Restu mengundang sugesti.

“Mina lah…” Uwak Cici mendorong dengkul si pemuda dengan setengah menggoda. “Biar ada yang ngerawat lanang-lanang di rumah ini… Bego lu, Tu!”

Restu cuma bisa tertawa. Tapi dalam hatinya, dia memendam rasa yang ragu untuk diungkapkannya.

Mina hanya perempuan biasa. Masih muda, walau tidak berpendidikan tinggi, orangtuanya juga bukan tokoh masyarakat atau orang kaya.

Kali berikutnya Mina berkunjung, Restu mulai melakukan pendekatan lebih jauh. Melihat apakah gadis itu juga tertarik padanya.

Tidak ada drama dalam kisah cinta penghuni gang sempit. Semuanya disimpan di dalam hati, ditunjukkan dalam perbuatan. Pada akhirnya, Restu mengikhlaskan masa lalunya, kehidupan lamanya, menyambut masa depan dan melamar Mina di depan orangtuanya secara jantan dan sopan.

Tidak ada janji muluk-muluk karena dia pun tak memiliki apa-apa. Dia lebih suka menganggap hubungannya dengan calon mertuanya seperti memiliki keluarga baru. Rasa hormatnya tulus kepada Bapak-Ibu Mina, peduli pada urusan keluarga, tapi nggak ikut ngomong kalau memang nggak ngerti, membantu jika memang mampu. Sebelum menikah dia sudah menjadi calon manantu yang baik di mata orangtua Mina.

Bulan berikutnya, sekali lagi Restu mendatangkan Pak Le dari Lampung untuk menjadi wali dalam pernikahannya yang kedua, sebab orangtuanya sudah tiada.

Rumah sempitnya itu mendadak meriah dengan hiasan warna-warni, bunga-bunga tiruan yang mencolok, dan Sugro yang sudah memiliki kembali tawanya dan senang bermain dengan teman-teman sebayanya.

Restu merenungi kesempatan kedua yang ia miliki. Ia tidak tahu harus takut atau bersyukur. “Min…”

“Aku terima abang apa adanya. Jangan ngomongin yang sudah lewat,” kata Mina, seolah membaca pikiran suaminya. “Kalau perlu biar aku bantu abang nyari duit. Untuk kita…dan anak kita.”

Senyuman kecil mengembang di bibir tipis perempuan itu.

Airmata Restu menetes saat mengecup kening istrinya. Tubuhnya bergetar oleh emosi ketika menciumi sekujur lengan Mina dengan penuh rasa cinta.